Minggu, 04 November 2018


BUTIR TASBIH DI BALIK ASMAMU

Oleh: Khuzaimah

“Teettt…”

Nyaring bel tepat di atas kepalaku, menarik jari-jariku untuk segera menutup telinga atau jika tidak daun telingaku akan gugur seperti daun beringin jatuh di atas teras. Kamar-kamar yang berderet berguguran pula. Celotehku dalam hati dan mungkin fikiran mereka juga sama sepertiku atau ada yang tetap nyeyak dengan selimut sarungnya yang ditarik (semakin) ke atas membungkus seluruh badanya. Seperti biasa bel berbunyi pertanda jarum jam menunjukkan pukul 03.00 dini hari, adalah waktu qiyamullail bagi penghuni bangunan tua ini. Iya, bangunan ini sudah tua seumuran peninggalan kakek para sesepuh.  Tapi walaupun begitu kekuatanya tak ubahnya besi baja.

Bangunan ini merupakan asrama kecil suci dan atap kirinya bersinggungan dengan atap bagian kanan masjid pondok pesantren Hidayatul Muttaqin. Pondok pesantren ini tak lapuk dimakan usia dengan ketuaanya di dusun Pangabasen, dan jauh darai debu dan asap kota juga maksiat yang tak pernah melintas.

***

“Banghun… bangun… bangun…” usai salat tahajjud aku langsung bergegas ke kamar sebelah yang penghuninya masih ngorok, seperti biasa yang bandel mendapat usikan dari hentakan sajadah hitam bercorak putih, aku semakin mengeraskan suaraku biar tidak tidur di kamar mandi hahaha... lucu sekali, ada sebagian yang tertidur di kamar mandi karena memang hobi tidur seperti kisah Ashabul Kahfi..

“Muhammad…!”

“Dhalem¹ kiai,” sambil kutundukkan kepala dihadapan Kiai H. Hasani Syahid pengasuh pondok pesantren ini.

“Bagaimana, sudah tahajjud semua…?” periksa beliau.



"Enggihh…² InsyaAllah  kiai sudah semua,” haturku takzim kepada beliau.

“Alhamdulillah, siap-siap ini sudah hampir azan Subuh. Mad, sebentar lagi kita salat berjamaah.” Ujar beliau sambil berbalik badan ke pintu gerbang dhalem (rumah kiai) yang tak jauh dari depan masjid.

“Allahumma sholli ala sayyidina wamaulana MuhamMad”
“Allahu akbar Allahu akbar”
“Allahu akbar Allahu akbar”
“Asyhadualla ilaa ha illahllah”
“Asyhadualla ilaa ha illahllah”
“Asyhadua anna MuhamMadarrasulullah”
“Asyhadua anna MuhamMadarrasulullah”
“Hayya alashalah”
“Hayya alashalah”
“Hayya alal falah”
“Hayya alal falah”
“Asshalaatu khairumminannaum”
“Asshala atu khairumminannaum”
Allahu akbar Allahu akbar
“Laila ha illallah”

Muhammad sudah mengumandangkan azan pertanda waktu salat Subuh sudah tiba, santri pun mulai merapat kedalam masjid, ada yang membaca Al Quran, ada pula yang salat sunnah dan juga ada yang membaca nazam. Wajah-wajah sendu berjuang di atas derai rindu, bukan pesantren kalau tidak ada yang bandel… ha ha ha ha!

Di pojok bagian utara ada salah seorang santri yang duduk sambil menundukkan kepala seperti halnya khusyuk.

“Heii.. ini suadah azan…!” Panggilku. “ ayo salat sunnah qabliyah, yang lain sudah selesai semua.”

“Heii ayo..!” Memaksa untuk ditarik tanganya, ternyata air liurnya meleleh.

“Astagfirullah…! Kukira kamu sedang khusyuk berzikir, ternyata tidur. Ayo bangun..” tegasku.

“Sebentar lagi kiai akan naik ke masjid..” sambungku, dia tersentak “ iya Mad…! ganggu orang lagi bermimpi saja ah..” Sulton melempariku dengan kata kata kesal karena dibangunkan. “  ayo cepat..! “ Sulton bergegas menuju kamar mandi di sebelah timur masjid.

***

“Kiai- kiai- kiai…..!”

Semua santri berdiri menundukkan kepala karena beliau sudah menghampiri masjid pertanda salat akan dilaksanakan.
Muhammad pun mulai mengumandangkan iqomah di sebelah  kiri saf depan, sebelum takbir beliau menoleh ke belakang menanyakan siapa saja yang belum hadir ke masjid.
“Mad..! Sudah rampung semua..? Beliau selalu bertanya padaku karena tugas dan amanat beliau aku tukang absen salat di masjid mulai dari waktu qiyamullail.
“Sulton ada, Mad?” Beliau bertanya karena anak itu selalu berbuat ulah saat waktu salat berjamaah, aku melirik kesemua saf yang berjejer rapi dari depan sampai barisan belakang  dan benar Sulton tidak ada,  anak itu selalu bikin kesal di hati.

“Tidak ada kiai…!” Jawabku setelah memutar kepala kesana kemari,” diajak ke surga malah tidak mau.. kalau diajak ke neraka malah senang,” sahut kiai.
Aku langsung keluar memanggil yang namanya Sulton..” Sulton…! Sulton…!” dicari dikamar mandi tidak ada, dimana gerangan? Tidak lama aku menuju kamar tengah di arah selatan kamar Sulton, sampai dicari ke belakang lemari kecil di sebelah barat, ternyata benar si Sulton tidur di belakang lemari itu.

“Ya Allah Sulton… kamu ini mondok Sulton,” sedikit kasar. “Ayo cepat bangun, kamu di tanya kiai di masjid.” Aku langsung menariknya ke luar, dan langsung masuk masjid berdiri ikut salat, aku tarik Sulton ke kamar mandi karena harus berwuduk dulu biar salatnya sah.

***

Qola muhammadun huabnu maliki # ahmadurabbillahi khaira maliki
Musholliyan ala nabiyil mustofa # waalihi mustaqnuhna syarafah
Waastainullah ha il alfaiyah # maqasidun nahwi biha mahwiyah
Taqarribul aqsha bilafdzil mujazi # waladzuhul badla biwa’di muyazi
Wataqtadi dan bighairi sukhtii # waiqatan alfiyatabni mu’ti
Wahwa bisabqin haizun tadhila # mustawjibun sanaiyal jamilah
Wallahu yaqdi  bihibatiw wafirah # liwalahu fidharajatil akhira

Di sela-sela senyum mentari pagi ini, para santri sibuk dengan urusan masing masing ada yang sedang asyik berdendang dengan alunan syair Ibnu Malik, ada juga yang sedang menyapu halaman, kamar mandi suntuk menaati kiai yang sering diutarakan kepada santrinya "yurisul faqrah wannisyan, (tidur pagi akan menjadikan kalian fakir dan memiliki daya ingat yang lemah)" Beliau juga mewanti wanti santrinya untuk tidak tidur pagi karena konteks dakam hadis adalah fakir ilmu.

Syair Maliki biasa dilantunkan oleh Muhammad di masjid setiap pagi sehinngga daun telinga ini merasa malu bila mendengar syair lain kecuali hari Jumat. Beliau juga mengajari kitab Ibnu Aqil syarah kitab Alfiah yang masyhur di kalangan santri sebagai pembuka cakrawala membaca kitab kuning.

Jarum jam menunjuk ke angka 07.00 WIB santri terbiasa melaksanakan salat dhuha sebelum sarapan pagi.
“Faqih siap apa belum?” tanyaku.
“Sebentar lagi, Mad.“

 “Nanti ana panggil,“ balas Faqih
“Om, siap tunggu ana ya…!  Ana masih disuruh menyiram pohon di kebun sebelah.”

***

Setengah jam sudah aku ada di kebun cabe, siram menyiram sudah menjadi kebiasaan setiap pagi. Setelah semuanya selesai akupun bergegas kembali ke pesanntren karena di sana Faqih dan Muhammad pasti menyiapka makanan yang beralaskan plastik dan daun  di teras depan kamar, dawuh kiai “siapa yang makan bersama di akhirat tidak akan di hisab.” Kami tidak mungkin menyiakan hal ini di samping fasilitas makan tidak memadai  tetapi hidup dalam kebersamaan layaknya tempat kelahiran kami yang berasal dari pedesaan.

“Ajiyan... ajiyaaan³...” Panggilan Muhammad dengan suara loudspeaker TOA-nya pertanda kajian kitab akan segera dimulai. Pukul 09.00 santri harus kembali merapat ke masjid untuk ngaji bersama Ihya’ Ulumuddin
Santri santri berdiri menundukkan kepala setelah suara sandal beliau mulai mengusik telinga, terkecuali Sulton yang tekenal nakalnya, ia malah tidur nyenyak, kepalanya diatas kitab yang sedang terbuka di depanya, sontak kiai langsung memanggilnya.

“Sulton..!”

“Enggi, kiai..” tergesa merapikan kopyahnya dan mengambil pulpennya yang jatuh di sebelah lututnya.

“Kamu ini tidur terus Sulton…” bentak kiai;

Sulton langsung menundukkakan kepalanya merasa gugup atau mungkin dia takut karena kiai sepertinya merasa lelah karena ulahnya di setiap kegiatan pondok selalu lalai.

“Kamu dihukum! Kamu sering melakukan hal seeperti ini, padahal sudah sering diberi peringatan bukan..?” kiai sudah kesal dan berusaha sabar, seenaknya tidur di sembarang tempat sehingga waktu salat seharusnya dimulai  justru mencari Sulton.

Sulton hanya menganggukkan kepalanya dengan kemarahan kiai dari tadi.
“Kamu kalau masih menganggapku guru, bersihkan kamar mandi yang ada di sebelah  utara masjid ini dan seluruh kamar mandi santri di sebelah timur, semuanya harus kamu bersihkan, jika tidak ilmumu tidak akan bermanfaat.”
Entah pertanda apa waktu itu kiai marah besar sehingga pengajian sampai pukul 11.00 langsung di berhentikan dan kiai masuk ke  dhalem dengan wajah marah.

***

Matahari tampak muram durja waktu itu, karena seharusnya semua kegiatan santri berjalan lancar dan di bimbing beliau justru diam, salat Zuhur dan Asar biasanya menjadi imam salat diganti sang putranya, Fatin. Beliau memilih salat berjamaah bersama keluarga besarnya. Sehabis salat semua santri bergegas menuju kamar masing-masing untuk mengambil melanjutkan ke sekolah diniyah sore sehabis salat asar sesuai dengan kelasnya tak terkecualai aku yang telah lulus Madrasah yang hanya mengabdi sebagai persyaratan berhenti. Mungkin aku mengabdi bukan karena syarat apa tapi tuntutan yang tak mungkin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, aku hanya diberi tugas membimbing jam belajar santri setelah jam pengajian kepada kiai.

Aku keluar dari pintu masjid dan memutarkan bola mataku menatap seluruh keadaan, dan berfikir generasi yang akan datang sebagai tuntutan zaman global bias eksis mempertahankan nilai-nilai pondok pesantren, akupun ditunjuk untuk menggantikan guru ta’limul mutaallim yang sedang sakit tidak bias masuk kelas aku pun ditunjuk masuk ke kelas enam. Agak gerogi sedikit sih tapi baguslah. la sebagai langkah awal menuju kehidupan yang hakiki.

Semua santri sudah keluar dari kelas masing masing dan seperti biasa matahari masih tinggi untuk ke kamar mandi salat magribnya tetapi justru mengalihkan pekerjaan ke ladang mengumpulkan kayu untuk dibawa ke dapur kiai, Muhammad mengambil sebilah sabit untuk memotong kayu yang masih bergelimpangan, dialah yang termasuk santri paling rajin dalam bidang pekerjaan tetapi sulit menangkap pelajaran, inilah keberagaman hidup saling melengkapi satu sama lain.

Dawuh kiai, ”kalian tidak tau akan jadi apa setelah pulang nanti cukup berusaha dan berdoa dan janganlah menyia-nyiakan waktu serta merendahkan seseorang, karena kita tidak boleh menafikan takdir Allah, dan ingat kalian yang berangkat ke sini karena usaha orang tua yang menjadi sebab musabab allah memberi rizki kepada kalian” seperti dawu kiai Habibullah Rais dalam syaiirnya,
“jirayatuttullabi tahrumu ala # syalashin bi ilmin nafiin mustaghala (Haram hukumnya makan kiriman orang tua kecuali santri yang giat dan rajin ibadah dan belajar).

Sepulang dari Madrasah aku menuju kamar mandi dan terkejut tiba taiba kamar mandi bersih dan airnya terisi penuh, ternyata ini hasil dari hukuman sultan yang melanggar kemarin. Jika berurusan dengan hal ini tak seorang pun yang mau, sekalipun hukuman diacuhkan, baru kali ini semenjak saya mondok di sini menemukan orang yang taat kepada kiai sekalipun bandel, dialah Sulton si raja tidur.

Aku berulang kali mengusap dada sambil berucap tasbih lirih dan mendoakan Sulton semoga Sulton menjadi orang yang diampuni dosanya melalui keikhlasan hatinya dan semoga kiai memaafkanya dengan ikhlas.

“ Sulton…..  kamu lapar?” tanyaku.

“Tidak, Mad, aku hanya ingin minta sesuatu kepadamu” jawabnya.

“Oh iya apa itu Sulton…?” aku  hanya ingin minta pendapatmu” tuturnya.

“Iya siap Sulton, apa itu?” penasaran dengan pertanyaan Sulton selanjutnya.

“Apa mungkin aku ini mendapat sebait kata maaf?...” sambil menundukkan kepala.

“Pasti..! selagi masih ada usaha jangankan kepada sesama manusia kepada allah pun bisa di maafkan..”sambil kukepakkan tanganku di pundaknya yang sudah terlihat lelah dengan penyesalan.

“Sulton, Sulton..” Suara kiai terdengar halus di telingaku, beliau memanggil nama Sulton di halaman kamar yang berjejer tak jauh dari kamaar mandi yang sekarang bersamaku, Sulton bergegas menghadap kiai dengan baju yang sangat kotor dan aku pun mengikutinya dari belakang, dari arah selatan teman teman santri yang lain pun berdatangan dengan kayu bakar yang didikat, langkah kami pun berhenti menyaksikan percakapan kiai dengan Sulton.

“Dhalem kiai,” sambil merendahkan badanya.

“Kamu aku maafkan, bedirilah… sekarang bersihkan badanmu kita akan melaksanakan salat berjamaah” sehabis Magrib putriku akan tiba sekarang di perjalanan bersama rombongan kiai Habib Lathfan, pengasuh ponpes-ku dulu, aku akan menikahkan anakku dengan kamu, dan kamulah yang akan menjadi penerus pondok pesantren ini, karena umurku sudah sepu dan kamu sudah masuk waktunya menikah sebagai sunnah rosul..”

Subhanallah, matahari mengundang purnama malam ini, ia  datang dengan butiran tasbih yang mengalir dari lisan, lisan suci para penanti janji dan keajaiban, tak pernah ada yang tahu apa yang akan diceritakan malam pada bintang, walau sekedar  tebakan, terkadang masih melenceng karena tumpukan doa. Dan semua mata tertuju pada bulat cahaya purnama, purnama bersinar yang tak pernah terlintas untuk dibaca di balik cerita kecil yang sering kali dibuang oleh  banyak pasang mata.

"Laila ha illa anta subhanaka inni kuntu minadzzalimin"

         Pangabasen, 01 November 2018

Tentang Penulis

Khuzaimah, Siswa kelas XII IPS Madrasah Aliyah Al-Huda Gapura Timur Gapura Sumenep.

Catatan Kaki:
1. Dhalem: Madura red: ada dua pengertian sebenarnya, pertama berarti iya, ada pula yang berarti rumah kiai.
2. Enggi: Madura red: yang berarti iya.
3. Ajian: Madura: waktunya ngaji bareng. Belajar bareng.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar